1. DEFINISI AL ILMU
a. Menurut bahasa (Arab) : al Ilmu lawan kata al
Jahlu (tidak tahu atau bodoh). (Lihat Lisanul Arab) Atau : mengenal
sesuatu dalam keadaan aslinya dengan pasti. (Kitabul Ilmi hal 11)
b.
Menurut Istilah : Ilmu yang kita maksud di sini adalah Ilmu syar’i yaitu
ilmu tentang penjelasan-penjelasan dan petunjuk yang Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa turunkan kepada rasul Nya (atau dengan kata lain Ilmu
tentang al Qur`an dan as Sunnah).
Ilmu yang disebut-sebut dalam (al
Qur`an dan as Sunnah) dan mendapatkan pujian adalah ilmu wahyu (Kitabul
Ilmi hal 11) Namun demikian bukan berarti bahwa ilmu-ilmu yang lain
tidak ada manfaatnya. Ilmu-ilmu lain dikatakan bermanfaat jika dilihat
dari salah satu sisinya (yang baik) yaitu : jika membantu dalam ketaatan
kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan dalam menolong agama Allah
serta bermanfaat bagi kaum muslimin. Kadang-kadang hukum mempelajarinya
menjadi wajib, jika itu masuk dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa:
و أعدوا لهم ما استطعتم من قوة و من رباط الخيل
“Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS Al Anfaal: 60).(Lihat
Kitabul Ilmi, hal 12)
2. MASYRU’IYYAH MENCARI ILMU DAN
LARANGAN TAQLID
A. Masyru’iyyah mencari ilmu
1) Dalil Al Qur’an :
فاعلم
أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات والله يعلم
متقلبكم ومثواكم (محمد:19)
Al Bukhory berdalil dengan ayat ini untuk
menunjukkan wajibnya mempunyai ilmu (pengetahuan) sebelum mengeluarkan
ucapan dan melakukan perbuatan. Ini dalil yang tepat yang menunjukan
bahwa manusia hendaknya mengetahui dahulu, baru kemudian mengamalkannya
2) Dalil hadits.
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Sedang hukum
menuntut ilmu adalah :
a. Fardlu ‘ain.
Menuntut ilmu hukumnya
menjadi fardlu ‘ain bagi setiap muslim, jika menjadi prasyarat untuk
mengetahui sebuah ibadah atau mu’amalah yang hendak dikerjakan. Dalam
kondisi seperti ini, wajib baginya untuk mengetahui bagaimana cara
ibadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan cara bermu’amalah.
b.
Fardlu kifayah.
Tholabul ilmi pada asalnya (hukumnya) fardlu
kifayah. Jika sudah ada sebagian orang yang mengerjakan maka bagi yang
lain hukumnya sunnah. Hal-hal lain (berkaitan dengan tholabil ilmi )
yang tidak termasuk dalam fardlu ‘ain di atas hukumnya adalah fardlu
kifayah. Seorang tholabul ilmi menyadari bahwa ia menjalankan sebuah
kewajiban (fardlu kifayah) agar ia memperoleh pahala orang yang
menjalankan kewajiban ,disamping itu juga mendapatkan ilmu.
B.
Larangan Taqlid.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
ولا
تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسئولا
(الإسراء: 36)
Ayat diatas menjelaskan prinsip dasar syar’i yang benar
tentang bagaimana sikap seorang muslim ketika mendengar ,melihat atau
menyakini sesuatu . semua itu harus dibangun diatas ilmu, tiada
alternatif lain . Jelasnya makna ayat tersebut adalah : Janganlah anda
mengikuti apa yang anda tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Maka
apa yang setiap kita dengar atau kita lihat harus kita simpan dahulu
didalam hati kita, bahkan kita wajib meneliti dan memikirkanya. apabila
ternyata kita dapat mengetahuinya secara jelas, barulah kita yakini.
Tetapi kalau tidak, kita tinggalkan seperti sediakala, dalam keadaan
penuh keraguan, dugaan-dugaan serta prasangka yang tidak bisa dianggap
(sebagai apa-apa). Al Imam Bakr bin ‘Abdullah Al Muzani berkata:
“Hati-hatilah jangan sampai kamu mengatakan sesuatu yang apabila benar
perkataanmu, maka kamu tidak akan mendapatkan pahala, dan apabila salah
perkataanmu maka kamu akan berdosa. Itulah dia su’uzhonn (berprasangka
buruk). (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-thobaqoth VII /210 dan
Abu Nu’am dalam Al-Hilyah II/226).
Adapun dari hadits: Dari Abu
Sa’id Al Khudri dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عن
أبي سعيد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لتتبعن سنن من
قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو سلكوا جحر ضب لسلكتموه قلنا يا رسول
الله اليهود والنصارى قال فمن (خ 3456 و م 2669)
3. FUNGSI ILMU.
1
Sarana paling utama menuju taqwa
Urgensi ilmu dalam kehidupan
seorang mukmin yang bertaqwa adalah hal yang tidak dapat disangkal.
karena ketaqwaan itu sendiri identik dengan kemampuan merealisasikan
ilmu yang shohih (benar) yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah
sesuai dengan pemahaman salaful umah (pendahulu umat ini). Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
ياأيها الناس اعبدوا ربكم الذي
خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون( البقرة: 21)
2. Amalan yang tidak
terputus pahalanya.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling berharga bagi
setiap muslim , sebab ilmu akan memelihara pemiliknya dan merupakan
beban bawaan yang tidak berat, bahkan akan semakin bertambah bila
diberikan atau digunakan, serta merupakan amalan yang akan tetap
mengalir pahalanya , meskipun pemiliknya telah wafat, sebagaiman sabda
Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam :
عن أبي هريرة أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة
إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له (م/ 1631)
3
Pondasi Utama Sebelum Berkata Dan beramal.
Ilmu memiliki kedudukan
yang agung dalam din ini, oleh karenanya ahlus sunnah wal jama’ah
menjadikan ilmu sebagai pondasi utama sebelum berkata-kata dan beramal
sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhory rahimahullaahu ta’ala dalam
shohihnya “Bab ilmu sebelum berkata dan beramal“ berdasarkan firman
Allah ta’aalaa:
فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين
والمؤمنات والله يعلم متقلبكم ومثواكم (محمد:19)
Syaikh Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullaahu ta’ala mengatakan: “Dengan ayat ini Imam Al
Bukhori berdalil bahwa kita harus memulai dengan ilmu sebelum berkata
dan beramal. Ini merupakan dalil naqli yang jelas bahwa manusia berilmu
terlebih dahulu sebelum beramal dan berkata. Sedangkan secara aqli hal
yang membenarkan bahwa ilmu harus dimiliki sebelum beramal dan berkata
karena perbuatan dan perkataan tidak akan dinilai disisi Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa sebagai suatu ibadah jika tidak sesuai dengan
syari’at. Sedangkan seseorang tidaklah mengetahui apakah amalannya
sesuai dengan syari’at atau tidak melainkan dengan ilmu…” (Syarah
Tsalatsatul Ushul).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ Barangsiapa
meninggalkan petunjuk jalan, ia tersesat dijalan, dan tidak ada
petunjuk jalan kecuali apa yang dibawa oleh Rosul.
Al Hasan
berkata: ”Orang yang beramal tanpa ilmu adalah seperti orang yang
berjalan tidak diatas jalan yang semestinya. orang yang beramal tanpa
ilmu lebih banyak merusak dari pada memperbaiki carilah ilmu dengan cara
yang tidak merugikan ibadah, dan carilah ibadah dengan cara yang tidak
merugikan ilmu. Jika suatu kaum mencari ibadah dan meninggalkan ilmu,
maka mereka memerangi umat Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam. Jika
mereka mencari ilmu, maka ilmu tidak akan mengarahkan mereka berbuat
kerusakan.”
Perbedaan antara ungkapan ini dengan ungkapan yang
sebelumnya bahwa kedudukan ilmu pada ungkapan pertama ialah tingkatan
pihak yang ditaati, diikuti, disuritauladani, diikuti hukumnya, sedang
kedudukan ilmu pada ungkapan kedua adalah: Tingkatan petunjuk jalan yang
mengantarkan kepada tujuan akhir.
4. Ilmu Merupakan Kebutuhan
Rohani
Kebutuhan rohani terhadap ilmu melebihi kebutuhan jasmani
terhadap makan dan minuman, sebagaimana perkataan imam Ahmad
rahimahullaahu: ”Kebutuhan manusia akan ilmu melebihi kebutuhannya akan
makanan dan minuman, sebab makanan dan minuman hanya dibutuhkan sekali
atau dua kali dalam sehari, namun ilmu dia dibutuhkan sepanjang tarikan
nafasnya.” Sebab rohani merupakan pengerak utama bagi jasmani jika
rohani telah kering dari ilmu maka pada hakekatnya dia telah mati
sebelum mati dan manusia seperti ini ibarat mayat-mayat yang berjalan,
atau hidup bagaikan binatang ternak yang tidak dapat mengambil
pelajaran dan pengajaran. Allah ta’ala berfirman :
ولقد ذرأنا لجهنم
كثيرا من الجن والإنس لهم قلوب لا يفقهون بها ولهم أعين لا يبصرون بها
ولهم آذان لا يسمعون بها أولئك كالأنعام بل هم أضل أولئك هم الغافلون(179)
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam kebanyakan dari jin dan
manusia yang mempunyai hati (tetapi) tidak mahu memahami dengannya
(ayat-ayat Allah), dan yang mempunyai mata (tetapi) tidak mahu melihat
dengannya (bukti keesaan Allah) dan yang mempunyai telinga (tetapi)
tidak mahu mendengar dengannya (ajaran dan nasihat); mereka itu seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi; mereka itulah
orang-orang yang lalai. (Qs. Al ‘Araf:179)
Ulama’ robbani merupakan
manusia yang memiliki andil yang paling besar dalam memenuhi kebutuhan
rohani mereka, oleh karenanya jika ulama telah meninggal dunia, maka hal
itu merupakan musibah besar bagi kaum muslimin sebab akan hilanglah
kesempatan bagi umat untuk memenuhi kebutuhan rohani mereka yang akan
mengakibatkan umat ini tenggelam dalam lautan syahwat dan syubhat. Hasan
al Bashri rahimahullaahu berkata :
“Kalaulah bukan karena Ulama,
maka jadilah manusia seperti binatang.”
إن الله لا يقبض العلم
انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق
عالما اتخذ الناس رءوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا (متفق
عليه, عن عبد الله بن عمرو)
Imam Nawawi rahimahullaahu berkata:
”Hadits ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan dihilangkannya illmu
itu bukanlah dihilangkannya ilmu itu dari dada para penghafalnya, akan
tetapi maknanya adalah wafatnya para ulama, hingga kemudian manusia
mengangkat orang-orang bodoh yang menghukumi berdasarkan kejahilan
mereka, mereka itu sesat dan menyesatkan (Syarah muslim)
إن من أشراط
الساعة أن يرفع العلم ويثبت الجهل ويشرب الخمر ويظهر الزنا (متفق عليه, عن
أنس)
6. Salah satu bentuk metode tashfiyah dan tarbiyah bagi umat
agar tidak menjadi alat permainan iblis dan bala tentarannya .
Syaikh
Salim Al Hilali Hafidzhohullah berkata : “Ketahuilah bahwa tipu daya
iblis paling awal adalah memalingkan manusia dari illmu, sebab ilmu
adalah cahaya, dan jika telah padam cahaya lentera mereka, dengan mudah
iblis akan membenamkan mereka dalam kedzoliman (kegelapan) sekehendaknya
6. METODE MENCARI ILMU
6.1. Membaca kitab dan talaqi.
Dengan
jalan membaca kitab-kitab terpercaya yang dikarang oleh para ulama yang
terkenal keilmuannya, amanah mereka dan aqidah mereka selamat dari
bid’ah-bid’ah dan khurafat. Mempelajari ilmu dari kitab secara langsung
menjadikan seseorang mendapatkan apa yang ia tuju, akan tetapi belajar
dari kitab secara langsung memilki dua kelemahan, yaitu :
Pertama ;
Membutuhkan waktu yang sangat lama, usaha yang keras, bersungguh-sungguh
sehingga akan mendapatkan ilmu yang ia inginkan dalam hal ini
kebanyakan manusia tidak kuat untuk melaksanakannya terutama ketika ia
melihat lingkungan sekitarnya dimana banyak orang yang membuang waktu
mereka dengan sia-sia. Sehingga mempengaruhinya menjadi malas,
meremehkan dan condong. Sehingga dia tidak memperoleh apa yang ia
harapkan.
Kedua ; Bahwasanya orang yang belajar dari kitab secara
langsung ilmunya lemah, tidak terbangun diatas kaidah dan ushul, kita
mendapati kesalahan yang banyak dari orang yang belajar dari kitab
secara langsung. Karena ilmu itu tidak tegak diatas kaidah dan ushul.
6.2.
Belajar kepada guru yang terpercaya akan keilmuan dan agamanya, cara
ini lebih cepat dan menyakinkan terhadap ilmu tersebut. Karena cara yang
pertama kadang-kadang menyesatkan bagi orang yang belajar disebabkan
ia tidak tahu terhadap jeleknya pemahaman, kedangkalan ilmunya ataupun
sebab-sebab yang lain, sedangkan cara yang kedua, akan memungkinkannya
diskusi, timbal-balik antara murid dan guru. Sehingga akan terbuka bagi
murid pintu-pintu didalam memahami (ilmu), meneliti suatu hal dan
bagaimana membela pendapat-pendapat yang shahih serta bagaimana caranya
menolak pendapat yang dhoif .
Beberapa hal yang dapat membantu
mendapatkan ilmu
1. Taqwa
2. Tekun dan kontinyu
3. Menghafal
dan menjaga hafalan
“Dari Abu hurairah -semoga Allah meridloinya-
berkata : orang-orang mengatakan: Abu Hurairah (mengumpulkan dan
meriwayatkan) seandainya bukan karena dua ayat dalam al Qur’an saya
tidak akan berbicara dengan sebuah hadits, kemudian beliau membaca
firman Allah ta’ala :
إن الذين يكتمون ما أنزلنا من البينات والهدى من
بعد ما بيناه للناس في الكتاب أولئك يلعنهم الله ويلعنهم اللاعنون (159)إلا
الذين تابوا وأصلحوا وبينوا فأولئك أتوب عليهم وأنا التواب الرحيم(160)إن
الذين كفروا وماتوا وهم كفار أولئك عليهم لعنة الله والملائكة والناس
أجمعين(161)خالدين فيها لا يخفف عنهم العذاب ولا هم ينظرون (162) خالدين
فيها لا يخفف عنهم العذاب ولا هم ينظرون(162)وإلهكم إله واحد لا إله إلا هو
الرحمن الرحيم(163)
Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa
yang telah Kami turunkan dari keterangan-keterangan dan petunjuk
hidayah, sesudah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam Kitab Suci,
mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh sekalian makhluk.
Kecuali orang-orang yang bertaubat, dan memperbaiki (amal buruk mereka)
serta menerangkan (apa yang mereka sembunyikan); maka orang-orang itu,
Aku terima taubat mereka, dan Akulah Yang Maha Penerima taubat, lagi
Maha Mengasihani. Sesungguhnya orang-orang yang kafir, dan mereka mati
sedang mereka tetap dalam keadaan kafir, mereka itulah orang-orang yang
ditimpa laknat Allah dan malaikat serta manusia sekaliannya. Mereka
kekal di dalam laknat itu, tidak diringankan azab sengsara dari mereka
dan mereka pula tidak diberikan tempoh atau perhatian. Dan Tuhan kamu
ialah Tuhan yang Maha Esa; tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain
dari Allah, yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani. (QS: Al Baqarah
159-169)
sesungguhnya saudara-saudara kami dari kalangan dari
kalangan muhajirin sibuk dengan berdagang dipasar, sudara-saudara kita
dari kalangan anshor sibuk dengan pekerjaan mereka. Sedang abu hurairah
senantiasa mulazamah (rutin menghadiri mejelis) Rosulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam, beliau hadir ketika mereka tidak hadir dan beliau
menghafal ketika mereka tidak menghafal. (HR Bukhary no.115)
4.
Sering bergaul dengan ulama.
5. Bersungguh-sungguh (Mujahadah)
Berkata
Imam Syafi’i Rahimahullah: “Wahai saudarakku engkau tidak akan
mendapatkan ilmu, kecuali dengan enam syarat : kecerdasan, kerakusan
(akan ilmu), bersungguh-sungguh, memiliki biaya, bershahabat (berguru
dengan ustadz) dan menempuh waktu yang lama.”
العلم إن أعطيت كلك
أعطاك بعضه
6. Menjauhi Sifat Sombong dan Pemalu (yang berlebihan).
Kedua sifat ini akan menghalangi seseorang untuk bertanya
terhadap suatu masalah yang tidak di ketahuinya , padahal kunci atau
obat suatu kebodohan adalah bertanya. Sebagaiamana sabda Rosulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam
“Tidaklah mereka bertanya
ketika mereka tidak mengetahui? Karena sesunguhnya obat kebodohan adalah
bertanya: (hadits shohih, riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah)
باب
الحياء في العلم وقال مجاهد لا يتعلم العلم مستحي ولا مستكبر. وقالت عائشة
نعم النساء نساء الأنصار لم يمنعهن الحياء أن يتفقهن في الدين (خ)
7.
Menjauhi kemaksiatan.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
berfirman :
واتقوا الله ويعلمكم الله والله بكل شيء عليم(البقرة: 282)
ياأيها
الذين آمنوا إن تتقوا الله يجعل لكم فرقانا ويكفر عنكم سيئاتكم ويغفر لكم
والله ذو الفضل العظيم(الأنفال: 29)
Furqon yaitu seseorang dapat
membedakan antara yang haq dan yang bathil.
Ibnu Mas’ud:
“Sesungguhnya saya benar-benar menyangka bahwa seseorang lupa terhadap
ilmu yang pernah di pelajarinya adalah akibat dari suatu dosa atau
kemaksiatan yang telah dikerjakannya .
Berkata Iman Syafi’i
rahimahullaahu: Saya mengadu kepada Waqi’ (gurunya) tentang buruknya
hafalanku, lalu dia memberiku petunjuk untuk meninggalkan kemaksiaatan
dan memberitahukan kepadaku bahwasanya ilmu Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
adalah cahaya dan cahaya Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa tidak diberikan
kepada pelaku kemaksiatan.”
7. ADAB-ADAB MENUNTUT ILMU DAN
BEBERAPA SIFAT YANG HARUS DIJAUHI.
a. ADAB-ADAB MENUNTUT ILMU
1)
Ikhlas
Seorang yang hendak menuntut ilmu harus berniat melakukan
kegiatannya itu karena Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Jika seseorang
berniat menuntut ilmu untuk mendapatkan ijasah agar mendapatkan
kedudukan atau status dalam masyarakat maka Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam mengancam dalam sebuah hadits :
من تعلم علما مما
يبتغى به وجه الله عز وجل لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضا من الدنيا لم يجد
عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها (حم, د 3179, جه 248)
Namun jika
seseorang mengatakan bahwa saya ingin mendapatkan ijasah bukan karena
kepentingan (keuntungan) dunia tetapi karena peraturan dan sistem yang
ada mengharuskan ijasah dan menjadi standar internasional, Syekh
Utsaimin mengatakan : Jika niatnya mendapatkan ijasah untuk memberi
manfaat bagi manusia dengan mengajar, memegang sebuah jabatan tertentu
atau yang lainnya, maka niat ini tidak mengapa karena ini niat yang
benar. (Kitabul Ilmi, hal 25-26)
إن أول الناس يقضى يوم القيامة عليه
رجل استشهد فأتي به …… ورجل تعلم العلم وعلمه وقرأ القرآن فأتي به فعرفه
نعمه فعرفها قال فما عملت فيها قال تعلمت العلم وعلمته وقرأت فيك القرآن
قال كذبت ولكنك تعلمت العلم ليقال عالم وقرأت القرآن ليقال هو قارئ فقد قيل
ثم أمر به فسحب على وجهه حتى ألقي في النار …. (م/3527)
Sengaja ikhlas
disebutkan di awal pembahasan adab karena ikhlas merupakan pondasi.
2)
Diniatkan untuk menghilangkan ketidaktahuan (kebodohan) diri dan orang
di lingkungannya. Karena pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dalam
keadaan tidak tahu apa-apa. Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
و
الله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع و الأبصار و
الأفئدة لعلكم تشكرون(النحل: 78)
Menuntut ilmu dengan niat
menghilangkan ketidaktahuan (kebodohan) dari diri sendiri karena pada
dasarnya setiap kita tidak tahu apa-apa sebelum belajar. Jika kita
belajar dan menjadi orang yang berilmu maka ketidaktahuan (kebodohan)
akan hilang. Demikian pula berniat menghilangkan ketidaktahuan dari umat
ini. Ini bisa dilakukan dengan belajar dan berbagai usaha yang
menyebabkan orang lain mendapat ilmu.
Untuk mendapatkan ilmu tidak
hanya dengan duduk di pengajian, tetapi bisa dengan berbagai cara dan
dalam berbagai keadaan. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
بلغوا عني ولو آية (خ, كتاب الأنبياء)
Imam Ahmad
rahimahullah berkata: “Ilmu itu tidak bisa ditandingi jika niat
(belajar)nya benar.” Murid-murid beliau bertanya: “Bagaimana caranya?”
Beliau menjawab: “Berniat menghilangkan ketidaktahuan dari diri sendiri
dan orang lain.”
3) Menjaga syari’at Islam.
Hendaknya orang yang
menuntut ilmu berniat menjaga dan membela syari’at karena buku-buku
tidak mungkin membela syari’at. Seandainya seorang ahlu bid’ah
mendatangi sebuah perpustakaan yang sangat penuh dengan buku-buku agama,
kemudian berbicara dan menetapkan suatu bid’ah, tidak ada satu bukupun
yang sanggup membantahnya. Berbeda jika dia berbicara dan menetapkan
sebuah bid’ah di hadapan seorang ahlul ‘ilmi, maka ahlul ilmi tersebut
akan dapat menolak dan membantahnya dengan al Qur`an dan as Sunnah.
Oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban thalibul ilmi untuk menuntut ilmu
dengan niat menjaga syari’at, karena melindungi syari’at hanya bisa
dilakukan oleh pasukannya. Hal ini seperti senjata. Sandainya kita
memiliki berbagai senjata yang penuh dalam gudang, tentu harus ada
orang-orang yang menggunakan senjata-senjata tersebut. Karena
senjata-senjata tersebut tidak bisa menembak dengan sendirinya.
Kemudian
bid’ah juga terus berkembang. Kadang ada bid’ah yang tidak terdapat
dalam buku para ulama salaf tetapi sekarang muncul.
Oleh karena itu,
orang-orang sangat membutuhkan ulama yang sanggup membantah usaha para
ahlul bid’ah dan seluruh musuh Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Hal ini
hanya bisa dilakukan dengan ilmu syar’i yang bersumber dari al Qur`an
dan as Sunnah.
4) Lapang dada dalam perbedaan pendapat (yang
mungkin terjadi).
Masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para
ulama ada beberapa jenis :
(1) Masalah yang sudah jelas dan tidak
membuka kesempatan bagi siapa saja untuk ijtihad; maka tidak boleh ada
perbedaan.
(2) Masalah yang masih terbuka kesempatan untuk
berijtihad, maka perbedaan pendapat di sini masih bisa ditolerir.
Pendapat anda tidak bisa menjadi argumen (hujjah) yang harus dipaksakan
terhadap orang lain. Sebab kalau kita katakan bisa, maka akan berlaku
pula sebaliknya, pendapat orang lain menjadi argumen (hujjah) yang harus
dipaksakan kepada anda. Tentu ini untuk masalah-masalah yang banyak
menggunakan logika (dan tidak ada nash secara tegas yang menjelaskannya)
serta masih terbuka kesempatan untuk berbeda pendapat. Tetapi perbedaan
pendapat ini tidak boleh kita jadikan alasan untuk mencela dan mencaci
maki orang lain dan tidak boleh menjadi sebab permusuhan. Para sahabat
dahulu pernah berbeda pendapat dalam beberapa masalah ijtihadiyah,
tetapi hal itu tidak menjadikan mereka bermusuhan satu sama lain.
Berbeda
halnya dengan orang yang menentang dan tidak mau mengikuti jalan para
ulama salaf (dari kalangan para sahabat Nabi, tabi’in dan yang mengikuti
jalan mereka), seperti masalah-masalah ‘aqidah, maka semua pendapat
yang bertentangan dengan para ulama salaf tidak bisa diterima.
5)
Mengamalkan ilmu
Thalibul ilmi berkewajiban mengamalkan ilmunya, baik
dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab dan mu’amalah. Amal adalah
buah hasil ilmu. Orang yang berilmu seperti pembawa senjata. Senjatanya
bisa menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya ataupun sebaliknya.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam bersabda :
القرآن حجة لك أو عليك * (م/328)
لا تزول قدما عبد
يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه وعن علمه فيم فعل وعن ماله من
أين اكتسبه و فيم أنفقه وعن جسمه فيم أبلاه * (ت /2341)
عن عبد الله بن
مسعود رضي الله عنه قال : "من علم منكم علما فليقل به ومن لم يعلم فليقل
لما لا يعلم الله أعلم فإن العالم إذا سئل عما لا يعلم قال الله أعلم وقد
قال الله لرسوله ( قل لا أسألكم عليه من أجر وما أنا من المتكلفين ) *
(د/175)
Abud Darda` berkata : “Sesungguhnya orang yang paling buruk
kedudukannya di hadapan Allah pada hari Qiamat adalah orang ‘alim yang
tidak mengambil manfaat dari ilmunya.” (HR Ad Darimi no 264)
Kalau
ada perintah dari Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan rasul Nya, maka
percaya dan yakinilah kebenarannya kemudian amalkan, tanpa harus
bertanya: Untuk apa ? Bagaimana ? Karena kebiasaan seperti ini bukan
cara-cara orang-orang yang beriman, sebagaimana firman Allah Subhaanahu
Wa Ta'aalaa :
وما كان لمؤمن ولامؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون
لهم الخيرة من أمرهم ومن يعص الله ورسوله فقد ضل ضلالا مبينا (سورة
الأحزاب : 36)
Para sahabat dahulu, jika Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam berbicara dengan mereka dan memerintahkan mereka
dengan barbagai hal yang kadangterasa aneh dan asing menurut pemahaman
mereka, tetapi mereka menerimanya (secara langsung) tanpa bertanya :
Untuk apa ? Bagaimana ? Berbeda dengan orang-orang sekarang, yang jika
diajak dengan sabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kemudian
terasa asing di fikirannya, langsung mengajukan berbagai pertanyaan yang
sebenarnya ingin menolak perintah itu, bukan ingin tahu. Oleh karena
itu mereka (orang-orang sekarang) terhalang untuk mendapat taufik.
6)
Mengajak ke jalan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa. Thalibul ilmi hendaklah
menjadi da’i yang menyeru ke jalan Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam
berbagai kesempatan, di masjid, pertemuan-pertemuan, pasar dan
sebagainya. Kita lihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam setelah
menerima wahyu menjadi nabi dan rasul, beliau tidak tinggal diam di
rumahnya, beliau berda’wah dan terus berusaha. Kita tidak ingin bahwa
para thalibul ilmi hanya menjadi orang-orang yang menukil dari buku,
tetapi menjadi ulama yang senantiasa beramal.
7) Hikmah dalam
bertindak.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
يؤتي الحكمة من
يشاء و من يؤتى الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا (البقرة : 269)
Termasuk
sikap hikmah bahwa thalibul ilmi mendidik orang dengan akhlak yang
menjadi perilakunya dan mengajak kepada agama Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa, dengan menghadapi dan mensikapi setiap orang dengan cara yang
sesuai dengan kondisinya.
Al Hakim (orang yang berhikmah) adalah
orang yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Hendaknya
setiap thalibul ilmi memilih cara dakwah yang paling mudah diterima.
Kalau kita lihat banyak diantara da’i sekarang, karena semangatnya yang
berlebihan akhirnya membuat orang lari dari da’wahnya. Kalau ada orang
yang melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhaanahu Wa
Ta'aalaa, anda akan lihat ia (da’i)mensikapinya dengan keras, yang
membuat orang-orang lari dari da’wahnya.
8) Sabar ketika belajar.
Allah
Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman :
تلك من أنباء الغيب نوحيها إليك ما
كنت تعلمها أنت و لا قومك من قبل هذا فاصبر إن العاقبة للمتقين (هود :49)
“Itu
adalah diantara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad) tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak
(pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang
baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Huud ayat 49)
9)
Menghargai dan memuliakan ulama`.
Thalibul ilmi harus menghormati
dan menghargai ulama`, punya sikap lapang dada terhadap perbedaan
pendapat para ulama, bersedia memaafkan kesalahan orang yang keliru
dalam aqidah. Ini point yang penting sekali. Karena ada sebagian orang
yang mencari-cari kesalahan orang lain, agar bisa melakukan perbuatan
yang tidak layak terhadap mereka dan merusak wibawa mereka. Ini termasuk
kesalahan yang paling besar. Kalau ghibah terhadap orang awam termasuk
dosa besar, maka ghibah terhadap orang ‘alim jauh lebih besar, karena
ghibah terhadap orang ‘alim akibatnya bukan hanya terhadap dirinya
sendiri tetapi juga terhadap ilmu syari’ah yang dibawanya.
ليس من
أمتي من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا (مسند أحمد ج: 5 ص:
323, عن عبادة بن الصامت)
10) Berpegang teguh kepada Al Qur`an dan As
Sunnah.
11) Teliti dengan sumber dan isi ilmu yang akan dipelajari
12)
Bersemangat untuk memahami ayat dan hadits sesuai dengan yang
dikehendaki Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan rasul Nya shallallaahu
'alaihi wa sallam.
b. SIFAT-SIFAT YANG HARUS DIJAUHI OLEH
PENUNTUT ILMU.
a. Hasad (iri dan dengki)
Sebagaimana yang telah
kita ketahui bahawa hasad adalah suatu sifat yang tercela, ia senantiasa
menjangkiti hati setiap manusia. Dimana hal itu timbul karena adanya
persaingan dengan orang lain untuk mendapatkan suatu maksud yang sama –
sama diinginkan, sehingga merekapun saling membenci. Sebagaimana telah
diriwayatkan dari Zubair bin Al Awwam -semoga Allah meridloinya- dia
berkata : Rosulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata: “ Kalian
akan terkena suatu penyakit umat – umat sebelum kalian yaitu dengki dan
kebencian.”(HR. Tirmidzi dan Ahmad).
“ Janganlah kalian saling
membenci, saling memutuskan hubungan, saling mendengki, saling
bermusuhan, jadilah kalian hamba – hamba Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa
yang bersaudara.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim )
Karena itu orang yang
berilmu mendengki orang yang berilmu lainnya dan bukan kepada ahli
ibadah. Dan sebaliknya ahli ibadah akan mendengki ahli ibadah lainnya
dan bukan kepada ahli ilmu, tukang sepatu mendengki tukang sepatu
lainnya dan tidak mendengki pedagang kain kecuali jika ada sebab –
sebab tertentu. Dimana pangkal semua ini adalah cinta dunia. Dunia
inilah yang membuat dua pesaing merasa tempat berpijaknya menjadi
sempit, berbeda dengan urusan akhirat yang tidak akan membuat seseorang
merasa sempit.sebab siapa yang mengetahui Allah ta’ala, malaikat , para
nabi Nya, kekuasaan langit dan bumi, tidak akan mendengki orang lain.
Bahkan jika ada pengetahuan diketahui orang lain atau banyak maka dia
akan merasa gembira. Oleh karena itu semua ulama tidak ada yang saling
mendengki. Sebab tujuan mereka adalah mengetahui Allah ta’ala.
Adapun
sifat dengki tidak semua dilarang , sebagaimana sabda Rosulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam didalam Ash Shohihain disebutkan dari
hadits Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma :” Tidak ada dengki kecuali dakam
dua perkara : Orang yang diberi Al - Qur’an oleh Allah ta’ala lalu dia
membacanya menjelang malam dan menjelang siang, dan seseorang yang
diberi harta oleh Allah ta’ala lalu dia menafkahkannya dalam kebenaran
menjelang malam dan menjelang siang.” ( HR. Bukhori dan Muslim ). .
b.
Ta’ashub
Kata Ta’ashub secara bahasa berasaldari kata al - ‘ashabiah
yang berarti semangat golongan, sedangkan kata ta’ashoba artinya
mengencangkan pembalut atau perkumpulan atau ikatan .Dan ta’ashub bisy –
syai artinya radhia bihi (rela terhadapnya )
“Apabila engkau
menjadikan apayang datamg dari seseorang yang berupa pendapat atau apa
yang diriwayatkannya berupa ijtihad sebagai hujjah bagimu dan bagi
ssetiap orang.” (Asy Syaukani, dinukil dr kitab Wujub Luzumil Jama’ah)
Syaikhul
islam Ibnu Taimiyah telah berkata dalam kitabnya Iqtidho Shirathal
Mustaqim:
“Barang siapa mewajibkan untuk bertaqlid kepada seorang
imam tertentu ( dengan disertai tidak boleh mengikutipendapat imam yang
lain ) maka ia diminta untuk bertaubat, kalau tidak maka dibunuh ,
karena sesungguhnya penetapan kewajiban ini merupakan kemusyrikan kepada
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dalam hal pen syariatan, padahal perkara
ini merupakan kekhususan Allah ta’ala dalam rububiah.
Dampak
Negatif :
Adapun dampak negatifnya adalah :
1. Timbulnya
perselisihan diantara umat Islam ( Qs Al Anfal : 46 )
2. Pengagungan
terhadap selain Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa dan Rasul Nya. Ini
merupakan kesesatan. (Qs An Nur: 63 ,Al Hujurat:1 ,An Nur: 51 –52 )
Al
Imam Asy Syathibi telah berkata dalam kitabnya Al I’tishom II/355: “
Sesungguhnya berhukum kepada seseorang dengan tidak memperhatikan bahwa
dia itu adalah wasilah untuk suatu hukum syar’I yang diinginkan secara
syari’at adalah suatu kesesatan.”
3. Timbulnya al wala’ (loyalitas)
al baro’ ( berlepas diri ) yang tidak benar.
4. Menolak kebenaran /
al Haq.
5. Tersebarnya berbagai bid’ah ditengah umat Islam.(Dinukil
dari Bundel majalah as Sunnah hal.19 – 23 )
c. Menjauhi ma’shiat.
d.
Sombong.
e. Malas.
f. Sifat mudah putus asa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar